Sabtu, 23 April 2011

Hari itu pagi buta  …
“Selamat, Bu! Anaknya laki-laki!” Bayi itu diletakkan di dada sang ibu untuk menerima ASI pertamanya.
“Yah, kok laki-laki…”
“Loh, Bu,ibu ga senang anak ibu laki-laki?” Kataku bingung.
“Enggak. Saya maunya anak saya perempuan…” jawabnya, lugas. Aku terbengong2 mendengar jawaban si Ibu. Entah si ibu ini senang bercanda atau memmang serius, tapi aku selalu mengira seorang ibu tidak akan pernah kecewa dengan jenis kelamin anaknya. Kalau alasannya suaminya, aku sempat mengira mayoritas seorang pria menginginkan anaknya laki-laki. Jadi?
“Ini anak ibu yang keberapa?” (Bukan aku yang menganamnesisnya sehingga aku tidak tahu riwayat gravida, partus, dan abortusnya)
“Ini anak kedua, yang pertama laki-laki juga. Jadi saya inginnya sekarang perempuan… Biar sepasang, gitu…”
Oooo…
“Bu, jangan berkata begitu, anak ibu kan lucu… laki-laki atau perempuan tetap anugerah Allah…”
“Saya tetap mau anak saya perempuan…”
Duh, terserah ibu, deh…
Setelah aku membantu kelahiran plasentanya, dokter yang lain mengerjakan penjahitan pada bagian yang luka.
“Dokter, tetap di sini, ya. Saya takut sendirian di sini.” Katanya sambil memegang tanganku dengan erat. Well, seharusnya aku sudah beralih ke pasien lain untuk mengerjakan tugas lainnya, berhubung itu adalah IGD yang sibuk… Tapi, tak apalah, aku bersama pasien itu dulu… “Iya, Bu, tenang saja, saya tetap di sini.”
Penjahitan dilakukan dengan anestesi local. Memang sakit tidak terasa lagi, namun sering tetap terasa juga saat jarum-jarum itu menusuk jaringan sehingga seringkali Sang Ibu juga mengeluh atau berteriak kecil karena kurang nyaman dan memegang tanganku lebih kencang. Uniknya, setiap kali Sang ibu mengerang kecil, bayi yang ada di dadanya ikut menangis! Dan pada saat ibunya berhenti, sang makhluk mungil juga berhenti menangis.
“Dia merasakan yang ibu rasakan… Saat Ibu mengerang, dia ikut menangis…yang sabar, ya, Bu…”
“Iya..” Katanya sambil tersenyum.
Tapi tak lama dia mengulang lagi perkataannya… “Huh…kenapa anakku laki-laki…?”
Aku tertegun mendengarnya… dan seketika, setelah sang ibu mengatakannya, si bayi pun… menangis lagi…
“Wah, bu, setelah ibu ngomong begitu, anak ibu jadi nangis, tuh… jangan ngomong begitu lagi, dong, Bu…kasihan anaknya…”
“Iya, sih… tapi, saya inginnya anak saya perempuan…”
Rasanya tak tega melihat anak itu menangis seakan sedih karena tidak adanya penerimaan ibunya terhadap jenis kelaminnya…Tapi aku memilih untuk diam saja dan tetap tersenyum pada sang ibu, dan member dukungan padanya untuk menerima kelahiran anaknya.
Aku terpaksa meninggalkannya ke ruangan lain untuk menolong kelahiran ibu lainnya. Di ruangan yang berbeda itu, lahirlah seorang anak perempuan yang manis dengan perjuangan yang sangat berat dari seorang ibu muda. Sesuai prosedur, aku harus mencuci sarung tangan yang kugunakan ke larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi. Di ruangan itu aku tak menemukannya. Lalu aku mencari ember larutan tersebut yang kutemukan di ruangan ibu yang pertama.
“Permisi, Bu, saya mau cuci sarung tangan di sini.” Sapaku pada sang ibu.
“Oh, iya, Dok… baru ada yang melahirkan lagi, ya?”
“Iya, Bu…”
“Perempuan atau laki-laki, Dok, anaknya?”
“Perempuan, Bu…”
“Wah, senang sekali ibunya pastinya… Dapat anak perempuan…!”
“Masih aja nih, si ibu…”
“iya, Dok, saya ingin anak perempuan…”
Duuh…
Entah kenapa aku terus berempati pada perasaan si bayi. Kasihan dia, si ibu seperti tidak mengharapkannya. Dan entah kenapa pula aku sulit sekali berempati pada si ibu. Hanya karena anaknya sudah ada yang laki-laki, masa dia tidak mau menerima anaknya laki-2? Oke, gapapa, tapi tidak perlu disebut berulang-ulang begitu, kan?
Kenapa ya, si ibu ingiiin sekali anak perempuan? Selain supaya sepasang dengan anak pertamanya yang laki-laki, mungkin dia ingin ada yang bisa menemani dan membantunya di rumah sebagai sesame perempuan. Mungkin ada tuntutan di keluarganya supaya dia punya anak perempuan (walau kukira mayoritas penekanan ini adalah adanya anak lelaki)? Mungkin dia menganut paham matrilineal yang berprinsip garis keturunan dari pihak ibu (hey, aku orang padang tapi ga segitunya…walau memang ternyata saudaraku perempuan semua sih… :9)? Atau mungkin, di balik sikap senyumnya,si ibu sedang mengalami baby blues yang merupakan semacam bentuk depresi ibu pasca persalinan karena berubah drastisnya keadaan hormonal tubuh…? Atau..
Kalau dicari-cari kemungkinannya, masih banyak sekali… tapi sayang, aku tak bisa memastikannya berhubung aku sedang kerja di IGD yang sibuk… Sayang sekali… Yah, bersabarlah, Bu… Itu pasti yang terbaik untuk Ibu. Semoga Ibu bisa menerima kondisi anak ibu, karena lihatlah, setiap Ibu mengeluhkan itu, sang bayi selalu tiba-tiba menangis, entah, padahal dia belum bisa memahamimu bicara…

1 komentar:

Group Whatsapp Islam - Ilmu Agama Islam mengatakan...

Hai Femmy novianti..

Gmn masih kenal a safa.

add id facebook ya or twiter

@saifuddin_safa :)

see u

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Femy Novianti
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.