Selasa, 12 April 2011

Stase klinik. Ini salah satu hal yang paling dinanti2kan olehku saat pertama kali menginjakkan kaki di fakultas kedokteran. Ingin rasanya bertemu langsung dengan pasien, berinteraksi dengan mereka, dan mencoba menolong mereka dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Jadi ingat, dulu sekali, aku pernah menulis ingin menjadi dokter karena ingin membantu mengembalikan “kehidupan sebenarnya” alias kebahagiaan hidup pada orang2 yang kehilangan semangat hidupnya (Umum banget, sih, banyak profesi dan pekerjaan lain yang bisa seperti itu. Tapi toh dokter bisa termasuk di antaranya, kan… ^_^).Bring back smile to life (lebih cocok buat dokter gigi, ya? hehe..) itu kira2 mottoku.Setelah masuk kuliah kedokteran, ternyata bahasa yang kuterima adalah “mengembalikan kualitas hidup”. Ya… lebih kurang sama, lah… Karena sesakit apapun fisik, apa yang ada di dalam jiwa adalah paling berarti. Dan di jaga klinik ini aku ingin sekali merasakan langsung pengalaman itu.
Maka mulai masuklah aku di tahun keempat kuliah di fakultas kedokteran…Dan ternyata, pertama sekali aku masuk klinik, aku dihadapkan pada sebuah kenyataan: harapanku bisa berinteraksi dengan pasien, berkomunikasi dengan mereka, membantu menyelesaikan masalah mereka, dll, dsb, musnah sudah. Karena yang akan kuhadapi di modul ini adalah… pasien yang sudah mati alias jenazah! Ya, modul pertamaku adalah modul forensik dan medikolegal. Bayangan yang pertama kali muncul, di antaranya… sepertinya agak mengerikan… Salah sendiri, siapa suruh waktu kecil dulu aku hobi banget nonton film misteri plus maniak komik2 cerita misteri… (kecuali yang adegan bunuh2an kejamnya)… Jadi kebayang2 kan, sekarang!!! Namanya juga manusia normal… :) Agak2 takut sama hal-hal yang ga mereka pahami atau “kuasai”, ya nggak? Ya, di sinilah kisah klinikku harus dimulai. Hm…
Ternyata, forensic itu terbagi tiga: forensic klinik, patologi forensic, dan forensic laboratorium. Kalau yang terakhir udah kebayang,kan, pokoknya yang berhubungan dengan pemeriksaan laboratorium, deh… Nah, kalau di forensik klinik, ternyata kita berhadapan dengan pasien hidup yang harus divisum (jadi jangan pukul rata forensik = pasien mati, ya…), yang biasanya berhubungan dengan korban tindakan criminal. Aku dan teman2 menemui berbagai kasus di sini, dari mulai kasus perlukaan oleh orang ga dikenal, sampai kasus KDRT. Yang terakhir biasa ditemukan di Pusat Krisis Terpadu atau PKT, yang concern terutama pada kasus kekerasan pada wanita dan anak-anak. Nah, kasus-kasus di PKT ini yang paling menyentuh hati. Terlihat di sana ada seorang istri yang secara fisik tampak tidak terlalu parah namun terkesan sangat rapuh di dalamnya, karena bertahun-tahun menerima perlakuan kasar dari suaminya… Ada pula ibu yang tampak tenang, namun dari tatapan mata dan ucapannya menunjukkan kecemasan akan kemungkinan-kemungkinan di masa depan anak laki-lakinya yang mengalami pelecehan seksual dari tetangganya… Aku tak habis pikir, hal-hal yang sering kulihat di berita-berita dan kisah-kisah di TV dan koran ada di depan mataku dengan nuansa emosi yang nyata. Aku kagum sekali pada kemampuan petugas di PKT dalam berkomunikasi dengan pasien, bagaimana mereka membuat pasien yang dalam kondisi rentan tersebut merasa lebih nyaman. Benar-benar penuh empati.
Berikutnya, Patologi forensic, yang berhubungan dengan pasien mati. Di antaranya, aku diajarkan untuk mengetahui perkiraan waktu kematian. Ho, ternyata beginilah jawaban dari misteri yang membuatku kagum pada tokoh2 dokter di cerita-cerita criminal dan detektif… Aku selalu penasaran, kok bisa ya, mereka memperkirakan waktu kematian? Dan ternyata terjawab di sini… Selain itu, juga dijelaskan tentang mengetahui sebab dan cara mati serta mekanisme kematian. Caranya, dengan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam atau autopsi (+ lab), sesuai surat permintaan penyidik dari kepolisian.
Belajar di forensik benar-benar membuka pikiran, bahwa di sini asumsi tidak terlalu berperan penting. Kita memeriksa dan menemukan (visum et repertum) dan itulah yang kita laporkan, walaupun hipotesis tetap perlu dimiliki. Asumsi yang berlebihan dapat mengaburkan fakta, yang padahal akan penting untuk objektifitas hasil pemeriksaan. Apalagi, hasil pemeriksaan ini kelak dapat menjadi bukti di pengadilan. So, harus benar-benar teliti dan hati-hati (Lumayan susah buatku yang suka agak kurang fokus ini…). Namun yang menarik, setelah pengumpulan fakta, dalam forensic kita dilatih berpikir secara deduktif. Jadi bagaimana kita dapat mendapatkan kemungkinan-kemungkinan yang logis dari sebuah fakta sederhana. Misalnya, ada luka di suatu tempat, kita harus membayangkan, kenapa ada luka di situ? Apa yang mungkin menyebabkannya? Mirip2 sama Sherlock Holmes yang melirik sarung tangan orang aja udah bisa tahu tuh orang berasal dari mana, abis ngapain sebelumnya, dll, dsb (ya… kita ga diajarin buat jadi sehebat itu, sih…hehe…), yang membuatnya sering berkata pada temannya, Watson, “Kau hanya melihat, tapi tidak memperhatikan”, dengan gaya khasnya yang sombong… ckckck… Lho, kok jadi ngebahas Holmes, ya? Ayo kembali lagi… Selain itu, belajar di forensic juga sedikit banyak membuka pikiranku tentang hukum dan kasus-kasusnya, terutama yang berkaitan dengan kriminal kekerasaran dan medikolegal. Ya, lumayan lah, buat aku yang ga update info dunia luar ini selama ngekos dan kuliah. J
Yang pasti, pengalaman patologi forensic adalah yang paling berkesan menurutku. Dalam 3 mingguku di forensic, entah berapa kali aku sudah berhadapan dengan yang namanya kematian, hampir setiap hari tepatnya. Sungguh aku kagum sama dosen dan PPDS perempuan yang bisa bertahan bertahun-tahun dengan “Kehidupan tanpa kehidupan” ini. Dan tanpa sadar, ternyata perlahan hati ini jadi agak kebal dengan kematian-kematian tersebut. Seberapa sering aku ingat untuk mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi raji`un” setiap datang “pasien” baru? Seberapa baik aku mengingatkan diri untuk memperlakukan mereka sesuai tuntunan Islam untuk memuliakan jenazah? Astaghfirullah… Selain itu, ternyata ada hikmah besar di sini, yang mengingatkan tentang zikrul maut alias ingat mati. Ada berbagai macam kematian yang terlihat oleh kami, tapi yang Allah nilai adalah apakah ini khusnul khatimah? Atau Su`ul khatimah? Semua membuat kita sadar bahwa kematian itu terjadi setiap hari tanpa kita tahu kapan giliran kita dan juga kita benar2 ga akan tahu, seperti apa kondisi kita dan dalam keadaan hati seperti apa kita saat mati nanti. astaghfirullahal`adzhim…
Selain itu, ada pula hikmah tentang kebersamaan di sini. Sekadar info, departemen forensic sangat menjunjung kebersamaan dan keakraban, dengan tetap sopan santun. Dokter yang tua tampak menghormati yang muda, juga sebaliknya. Komunikasi berjalan santai dan akrab, baik antar pengajar, mahasiswa, maupun dengan mantri-mantrinya. Dokter2nya santai saja bercerita tentang hobi-hobi unik serta pengalaman-pengalaman mereka yang seru. Hal ini sedikit menghapus kesanku tentang hirearki di kedokteran yang tampak dingin dan sedikit bernuansa feodal. Belum lagi karakter dosen2nya sangat bervariasi, dari tipe yang sabar dan tenang menunggu walau sidang yang menghadirkannya sebagai saksi terlambat berjam-jam, sampai yang tegas dan benar-benar memperjuangkan keadilan sesuai yang seharusnya didapatkan. Dari yang membuat tertawa setiap menit ia bicara, sampai yang serius dan penuh wibawa. Dari yang jarang ngasih pertanyaan ke mahasiswanya sehingga beberapa anak bisa dengan tenangnya tidur lelap sehabis jaga semaleman (maaf, ya, Dok!), sampai yang ga pernah gagal untuk ngetes mahasiswa satu per satu tentang isi si buku ijo, walaupun mahasiswanya udah nunduk senunduk2nya biar ga keliatan sama sang dosen… (soalnya absennya dipegang ama dosen itu… hehe…). Pokoknya forensic benar-benar tempat pembelajaran berbagai hal yang nyaman dan cukup menyenangkan!
Setelah melewati forensic dengan penuh kekaguman, masuklah aku ke modul anestesi. Yang pasti, jujur,nih, tadinya aku agak sedikit malas mendengar kata anestesi. Apakah ini pekerjaan membosankan yang mengamati monitor tanda vital pasien selama dokter bedah melakukan pembedahan? Apakah ini pekerjaan membius orang yang awalnya sadar menjadi tiba-tiba tidur lelap? Ternyata, rasa malasku itu ada hanya karena aku belum mengerti apa itu anestesi. Ternyata anestesi bisa dibilang cukup menarik! Bayangkan, anestesi bergelut dengan apa yang disebut life saving. Saat di ruang resusitasi IGD,para dokter dan tenaga kesehatan bahu membahu berusaha mempertahankan kehidupan pasien dalam kondisi kritis, walau akhirnya tentu Allah SWT yang akan menentukan jalannya… Saat di kamar operasi, yang menghadapi pasien sebelum (dan sesudah) operasi adalah para dokter anestesi. Tahap-tahap persiapan operasi yang dulu kupikir membosankan ternyata cukup menarik dan menyentuh. Intinya bagaimana mereka membuat pasien senyaman mungkin: Bagaimana seni mereka dalam berbicara dengan anak kecil yang cemas mau dioperasi, bagaimana mereka mempersiapkan segala peralatan dengan penuh ketelitian dan perhatian, bahkan bagaimana mereka tampak serius saat memompa udara alias bagging untuk mengisi udara paru dengan perlahan, atau bertahan dengan posisi triple airway maneuver di rahang bawah pasien yang secara sepintas tampak sepele namun dapat berefek besar bagi keselamatan pasien. Saat itu, aku sudah mulai sedikit menyukai anestesi, tapi masih merasa kurang nyaman membayangkan rutinitas-rutinitas yang harus dihadapi.
Sampai suatu saat, aku masuk ke ruangan ICU. Awalnya aku sempat merasa diacuhkan di sana. Ternyata, itu karena kesibukan di ruangan itu cukup padat. Akhirnya aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobservasi dan mengumpulkan data-data. Aku juga melihat-lihat kegiatan para dokter yang tampak mengobservasi pasien dan menganalisis kondisi mereka dan para petugas yang sibuk merawat pasien. Hampir aku jenuh dengan rutinitas-rutinitas itu. Di saat itulah, aku melihat sebuah peristiwa kecil yang mengagumkanku. Di sana terlihat seorang dokter yang pada kesan pertama tampak agak kurang peduli, ternyata sedang mengelap untuk membersihkan muntahan di pipi pasiennya yang kondisinya sedang sangat lemah sambil tersenyum sabar padanya. Dia melakukannya sendirian, padahal di sekitarnya ada petugas-petugas yang biasa mengerjakan hal-hal tersebut. Belum lagi ia juga ramah menyapa dan memberi semangat pada pasiennya dengan wajah yang tulus layaknya seorang teman walau sang pasien dalam kondisi apatis yang tidak merespon penuh. Aku agak tertegun melihatnya. Entah kenapa peristiwa itu memberi energi baru, yang membuatku tiba-tiba jadi sangat menyukai anestesi, dan membuatku bersyukur telah memilih profesi dokter sebagai pilihan… walaupun sering bikin down dan pengen berhenti karena merasa ga mampu dan bikin stress karena jadwal belajar yang luar biasa padat dan melelahkan. Sepertinya lelah dan bosanku hari itu telah terbayar dengan suatu pesan bahwa serutin, semembosankan, atau sesulit apapun yang sedang kuhadapi, interaksi yang seperti tadi kulihat itulah yang selalu kuimpikan. Semoga kita tidak pernah kehilangan tujuan hanya karena berbagai hambatan yang menguji kita untuk mencapainya… ayo semangat!

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Femy Novianti
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.